Rendezvous

Saturday, May 3, 2014

Hari belum begitu sore ketika aku menunggu Santi, teman semasa di kampung dulu. Aku sudah datang sejak pukul 03.00 sore di sebuah kafe di area Jakarta. Santi datang dengan dandanan yang super cantik, sepatu berhak tinggi, tas bermerek, dan lenggak-lenggok yang membuat orang yang melihatnya terpana.
“Hai San…” Sapaku
“Gimana kabarmu Yun?” tanyanya ceria
“Alhamdulillah baik. Kamu sendiri gimana kabarnya? Ayo duduk San ”
“Aku, sehat wal afiat.” jawabnya sembari menarik tempat duduk
“Wah, gayamu sekarang berubah. Penampilanmu manglingi” kataku sambil menatapnya lekat-lekat
“Oh ya… hanya make up yang membuatku terlihat berubah.” jawabnya nyengir
“Tapi memang sih, sebagai wanita kita harus berubah. Kita nggak mungkin to hidup seperti di zaman dahulu kala. Dulu aku pasti kelihatan lugu dan polos ya…” sambil sambil terkekeh

Santi dahulu adalah seorang gadis kecil, anak dari seorang ibu buruh cuci dekat rumah. Ia juga teman sekolahku dari SD hingga SMA. Ayahnya sudah lama pergi dari rumah, tak diketahui rimbanya. Selain ibu, masih ada dua adiknya yang selisih umurnya sangat jauh. Santi hanya mengenyam pendidikan hingga pendidikan pertama saja. Setelah itu sang ibu tidak mengizinkannya melanjutkan sekolah. Permasalahannya sangat klasik, ekonomi keluarga yang tak mencukupi. Aku dulu sering sekali main bersamanya. Kami sudah layaknya dua sahabat. Santi kerap meminjam buku-buku bacaanku dan aku diajarinya membuat berbagai kerajinan tangan.
Usiaku waktu itu masih 20 tahun ketika sebuah undangan kecil tiba di rumahku. Ya, Santi akan menikah minggu depan, tentu saja dengan pria pilihan ibunya. Sudah menjadi hal yang lumrah di kampung kami jika anak perempuan menikah muda apalagi dengan cara dijodohkan. Saat itu aku tak sempat datang ke pesta pernikahannya disebabkan oleh kesibukanku. Kabar yang aku dengar adalah ia menikah dan ikut dengan suaminya yang seorang pemilik pabrik mie. Semenjak itu kami tak lagi berhubungan hingga akhir bulan lalu saat aku secara tak sengaja bertemu dengannya di sebuah salon.
 “Berapa lama ya, kita nggak ketemu?” tanyaku memecah keheningan
“Berapa ya, mungkin sepuluh tahun, atau lebih. Aku juga sudah lupa kapan terakhir ketemu kamu. Kalau nggak salah waktu lebaran.” jawabnya
“Sekarang anakmu berapa?”
“Anakku ada tiga. Dua cowok, satu cewek. Anak pertamaku ikut sama bapaknya.”
Aku mengerjapkan mataku mendengarkan jawabannya
“Maksudnya kamu berpisah dengan suamimu yang punya pabrik itu?”
“Lho, kamu belum tahu? aku pikir kamu sudah tahu. Aku sudah lama cerai dengan suamiku itu. Ya, kira-kira setahun setengah setelah menikah. Aku ternyata hanya dijadikan istri ketiganya. Setiap hari dua istri tuanya mbesengut, mencak-mencak di depan rumah, suka menghina, belum lagi suamiku suka main tangan. Aku nggak tahan Yun. Kamu sendiri menikah dengan teman SMA itu kan?” ia balik bertanya
“Nggak San, aku menikah dengan teman kuliahku. Anakku juga baru satu ini” jawabku sambil mengusap kepala Ghani yang sedari tadi duduk di pangkuanku.
“Wah, aku kira kalian bisa sampai menikah, ternyata…”
“Iya.. belum jodoh mungkin” ujarku
“Suamimu yang sekarang orang mana? Dimana kenalanya?” aku kembali bertanya padanya
“Panjang kalau ku ceritain Yun…” jawabnya sambil menerawang.
Pembicaraan kami terhenti sejenak ketika pelayan kafe membawakan pesanan dari kami berdua. Santi langsung membuka bungkusan gula, menaburkannya ke dalam cangkir kopi dan mulai mengaduknya.
“Maaf Yun. Sampai mana tadi?”
“Itu, suamimu yang kedua” jawabku singkat
“Oh, aku ketemu suamiku waktu sama-sama jadi TKI di Taiwan. Dia menikahiku setelah pulang ke Indonesia. Jadi sejak bercerai aku nekat merantau. Aku di Taiwan lima tahun, kerja di rumah makan. Gajinya lumayan besar. Aku kumpul-kumpulin uangku untuk modal usaha di Indonesia. Lha itu jadinya, salon yang kamu datangi kemarin” jelasnya
“Hebat kamu San, hasil merantaunya kelihatan.”
“Prinsipku waktu itu pkoknya nggak menghamburkan uang. Aku nggak mau seperti teman-temanku lainnya yang begitu pulang bawa uang banyak langsung bangun rumah, belanja ini dan itu. Begitu uangnya habis, nggak punya apa-apa.”
“Pemikiranmu bagus San, salonmu juga rame banget, kamu pasti sudah pinter dandan manten ya?”
“Ah itu.. sebenarnya aku juga nggak tahu apa-apa tentang salon. Cuma ada temanku di Taiwan yang pintar nyalon. Aku cuma investor saja, tanam modal, biar pohon duitnya berbuah terus. Awalnya juga nggak seramai itu, mungkin karena sudah lama berdiri jadi sudah dikenal banyak orang ” jawabnya
Yunda manggut-manggut mendengar penjelasan dari Santi.
“Kamu sendiri sekarang kerja di mana?”
“Aku nggak kerja San, hanya ibu rumah tangga, ngurus anak. Suamiku juga hanya pegawai honor. ” jawabku dengan nada merendah
“Jangan gitu Yun. Ibu rumah tangga itu juga profesi bagus. Ibu itu pondasi kuat untuk keluarga terutama untuk anak-anaknya, sebab ia selalu ada saat keluarga membutuhkan. Aku yang sibuk begini saja kadang nggak sempat untuk sekedar bertemu dengan anakku.”
“Oh, gitu ya… Tapi belakangan ini aku mencoba ngembangin diriku. Kadang aku kumpul dengan teman-teman satu komplek untuk arisan atau ikut kumpulan istri dari kantor suamiku buat kerajinan tangan. Hasilnya kami jual untuk keuntungan kami juga. Kadang juga ikut pameran kerajinan di kota-kota besar.”
“Wah prospeknya bagus itu. Ditelateni saya Yun. Oh ya, kebetulan aku mau buka toko asesoris. Belum punya banyak rekanan dan stok. Nanti kamu jadi suppliernya ya..” tukasnya bersemangat
“Boleh-boleh. Kerajinan tangan itu juga yang dulu pernah kamu ajarin. Kalau berminat nanti hubungi aku ya San ” ucapku sambil tersenyum
“Urusan bisnis gampanglah, bisa di atur.”
“Nggak nyangka  ya San, kamu sudah seperti orang gedean saja, Bisnis dimana-mana.”
“Ah, nggak juga Yun. Aslinya aku juga nggak ngerti soal bisnis. Tadinya aku sama sekali nol besar soal ini. Tapi aku belajar dari banyak orang. Semua buku bisnis sampai ku beli Yun..”
“Salut aku San..aku yang sekolah tinggi saja masih kalah pengalamannya dari kamu. Sepertinya aku yang harus belajar dari kamu”
“Aku ini bukan siapa-siapa Yun. Ijazah sarjana saja nggak punya. Hidup yang memaksaku untuk belajar keras. Aku juga kalau nggak ketemu banyak orang juga nggak bakal punya kenalan. Aku bukan harimau yang sedang kelaparan ataupun mangsa yang sedang ketakutan dikejar-kejar harimau. Aku itu cuma menjalani hidup, mencari celah dimana bisa bernafas dengan tenang dan nyaman, nggak mikir yang neko-neko. Jalani saja Yun..kalau kamu punya potensi dan kreatifitas jangan takut untuk dikembangin” jelasnya lagi
Matahari mulai tenggelam, suasana di kafe makin ramai pengunjung. Beberapa kali Santi menerima panggilan telefon. Ia akhirnya berpamitan padaku sebab harus menjemput anaknya di tempat kursus.
“Sukses buatmu San..sampai ketemu lagi”
“Sukses juga untukmu Yun. Jangan menyerah ya… salam untuk suamimu” ujarnya sambil melambaikan tangan
Aku masih tinggal di kafe itu sambil menunggu suami dan anakku datang menjemput. Sambil menunggu, aku menikmati sisa kopi dalam cangkir yang belum habis. Aku kembali mengingat semua kenangan tentangku dan Santi sejak kami kecil hingga percakapan dua jam terakhir. Santi yang tak punya pendidikan tinggi tapi mampu meraih kesuksesan setelah perjalanan hidup yang panjang.
Dua wanita ini akhirnya berpisah. Pertemuan yang singkat telah mempertemukan masa lalu, masa kini, dan masa depan.  Tak hanya itu, pertemuan ini sekaligus menguak dua cerita, dua jalan kehidupan.
“Roda kehidupan itu berputar” aku menghela nafas mengenang segalanya.
Ada kalanya orang berada di atas, ada kalanya berada di bawah. Namun hal itu bukanlah masalah selama diri kita bisa selalu bangkit dan terus meyongsong masa depan.

0 comments: