[CERPEN] Cinta Ayah

Friday, November 14, 2014

Aku bertemu dengannya di suatu pagi di bulan Juni lima tahun yang lalu. Saat itu aku masih seorang mahasiswa tingkat akhir di sebuah perguruan tinggi lokal. Ia berjalan sambil menenteng sebuah map berwarna cokelat. Ia nampak kebingungan, wajahnya nampak berpeluh namun tak menyurutkan wajahnya untuk selalu tersenyum. Kala itu ia mendatangiku yang sedang duduk beramai-ramai dengan teman-teman. Dengan suara parau dan setengah berbisik ia bertanya padaku,
“Dik, ruang administrasi di sebelah mana?” tanyanya
“Bapak mau mencari siapa?” tanyaku
“Oh ini, saya mau mengantarkan berkas registrasi, anak saya sedang sakit, tidak bisa datang”
Aku menunjukkan sebuah bangunan yang paling besar di kampus kami kemudian asik
kembali melanjutkan cerita bersama teman-teman dan tak mengindahkan kepergiannya bahkan tak menawarkan bantuan apa-apa. Sekilas aku memandangi Bapak itu, punggungnya yang berjalan menjauh sesaat mengingatkanku pada ayah.

Aku teringat akan ayah yang berjuang membiayai kuliahku. Teringat jasa beliau selama aku berada di perantauan. Teringat beliau yang dahulu mengantarku dan membereskan semua berkas-berkas untukku saat masuk di kampus ini. Aku juga mengingat kelakuan burukku yang merengek minta dibawakan motor yang aslinya tujuannnya bukan untuk mendukung transportasi kuliah, tapi untuk jalan-jalan bersama teman. Aku bahkan meminta laptop yang harganya berjuta-juta hingga minta pindah di kos-kosan yang harganya jauh di atas harga rata-rata kos mahasiswi pada umumnya.

Lima tahun berselang, aku kini duduk di balik meja di sebuah ruangan ber-AC. Ini adalah tahun ke- tigaku berada di kantor ini. Lihat tulisan yang ada di atas mejaku, aku seorang account officer, menangani segala urusan yang berhubungan dengan perkreditan. Hari ini ayah berencana datang ke kantor. Ayah ingin kredit sesuatu? Tidak, tidak, hari ini aku ingin mengantar ayah check up ke sebuah rumah sakit. Kalau dahulu aku yang diantar ayah ke bank, kali ini akulah yang dengan sukarela mengantarnya.

Pukul 12 lewat sedikit ayah tiba di kantorku. Ia melambaikan tangan sambil tersenyum padaku.
“Tunggu sebentar di situ Yah” ujarku
Aku masih harus membereskan beberapa arsip, baru aku bisa bebas tugas. Ketika aku akan beranjak dari tempat dudukku, dari sudut mataku aku memandang sesosok yang sepertinya cukup familiar. Sosok itu duduk sambil memandangi buku tabungannya. Tak berapa lama ayahku mendatanginya dan tampak mengobrol intim dengannya. Aku kemudian melangkahkan kaki mendekat. Kutepuk perlahan pundak ayahku. Alangkah terkejutnya aku ketika memandang orang yang belum lama mengobrol dengan ayahku. Wajahnya masih sama seperti lima tahun yang lalu, hanya kerutan di dahinya bertambah dan tekstur kulitnya yang tampak menua. Kukembangkan senyum diwajahku lalu menyapanya
“Bapak, masih ingat saya?” tanyaku
Ia menengadahkan kepalanya, bola matanya bergerak-gerak ke atas kanan pertanda ia sedang mengingat sesuatu.
“Siapa ya...?” ia balik bertanya
“Lho, Dinda kenal dengan pak Kusno?” tanya Ayah padaku
“Dulu, sekitar lima tahun yang lalu Bapak ini pernah ke kampus saya di Yogya” jelasku
“Be.. benar putri saya memang kuliah di Yogya. Tapi adek ini, rasa-rasanya saya tidak begitu ingat”
“Waktu itu Bapak akan registrasi anak Bapak. Kemudian Bapak bertanya pada saya ruang admnistrasi. Seingat saya Bapak bilang kalau putri Bapak sedang sakit.” aku kembali menjelaskan lebih detail
“Ah... iya, Bapak yang lupa, maklum Bapak sudah tua”
“Oh ya, ini ayah saya. Kelihatannya Bapak sudah kenal dengan ayah saya”
“Ini putrimu yang kamu bicarakan tadi to Ndro” Pak Kusno berupaya meyakinkan dengan kembali bertanya pada ayahku
“Iya, ini anak pertamaku. Dinda namanya. Din, ini Pak Kusno, teman main ayah dulu”
“Anak Bapak yang kuliah di kampus saya itu sekarang kerja dimana?” tanyaku penasaran
Pak Kusno terdiam sesaat, pandangannya kembali menuju buku tabungan dan sebuah map di tangan kirinya.

“Anak saya itu..tidak selesai kuliahnya (tersenyum getir). Bapak sudah berjuang membiayai semuanya, memenuhi semua kebutuhannya. Dia malah main-main. Bapak sebenarnya cuma ingin dia bisa lulus kuliah, jadi sarjana, gak seperti Bapaknya ini yang cuma lulusan SD.” keluhnya
“Sabar No..” ayahku mencoba menenangkan
“Bapak hari ini kemari apa ingin...”

Aku belum menyelesaikan kalimatku, namun Pak Kusno langsung menyambar dengan menjawab
“Ah ini... minggu depan putri saya menikah. Dan ini (mengangkat map), saya berniat untuk meminjam uang di bank. ” ujarnya dengan nada sedih
“Itu sudah sampai nomor antrian saya. Saya ke sana dulu.” sambungnya lagi
“Ya sudah No, mudah-mudahan diberi kesabaran dan kelancaran. Main ke rumahku. Terakhir kita ngobrol itu sudah lama sekali waktu anak-anak masih kecil.”
“Mari pak, saya antar. Nanti biar teman saya yang bantu” aku menawarkan bantuan

Aku dan ayah kemudian berpamitan pada pak Kusno. Setelah mendengar kisah pak Kusno ayah menggenggam tanganku erat. Kedua matanya memandangku lekat-lekat seakan berkata “Dinda putri ayah”.

Ya, akulah putri ayah. Aku yang dahulu nakal ini sudah belajar banyak menjadi seorang putri yang baik dan bisa membalas budi orang tua. Bertemu dengan pak Kusno menyadarkanku bahwa seorang anak dilahirkan selayaknya menjadi anugrah bagi kedua orang tuanya. Bayangan pak Kusno lima tahun yang lalu dan lima belas menit yang lalu terus melekat dalam pikiranku. Benakku turut bertanya, apakah yang akan terjadi lima tahun dan lima belas tahun yang akan datang pada pak Kusno? Aku mengeratkan gamitanku pada ayah, aku ingin beliau menikmati masa senjanya dengan bahagia, aku sangat ingin ayah merasakan manisnya hasil pengorbanan yang telah ia lakukan bagi putra-putrinya.




0 comments: