Kejadian ini berlangsung kemarin malam di tempat saya melaksanakan tarawih.
Agak kaget juga, di saat berita Rhoma Irama dengan 'SARA' nya yang begitu
santer, ternyata masih ada juga yang membawa permasalahan politik ke dalam
ibadah. Tidak masalah sebenarnya kalau mau bicara politik saat ceramah/ kultum/
dakwah, hanya saja konteksnya harus diperhatikan. Orang-orang akan salah
mengartikan ceramah itu sebagai suatu upaya kampanye bila didalamnya ada unsur
SARA serta penghasutan, apalagi situasi menjelang PILKADA Jakarta Putaran kedua.
Saya menangkap pesan yang kurang mengenakkan saat pimpinan ta'lim yang
juga imam tarawih membicarakan soal PILKADA dan bujukan untuk tidak memilih
salah satu calon karena alasan agama dan suku. Dalam pandangan saya, kalau hanya
menyampaikan ayat/ hadits serta pendapat sih, silahkan saja, namun jangan sampai
ada upaya menghasut. Negara Indonesia ini bukanlah negara islam, tapi negara
demokrasi. Jadi, wajar apabila warga masyarakat yang majemuk ini menerapkan
prinsip LUBER pada setiap pemilihan para pemimpinnya. Agaknya beliau lupa dengan
hal tersebut.
Bahkan ketua MUI, K.H. Amidhan melalui
okezone
berani menyatakan bahwa pemimpin yang adil nonmuslim lebih baik didukung
daripada sosok muslim yang dzalim. Sekarang semua kembali ke masyarakat lagi,
sebab merekalah yang memilih pemimpin. Posisi saya saat ini hanyalah pengamat
yang kebetulan tinggal di Jakarta, bukan pemilih ataupun tim kampanye. Pesan
saya untuk warga Jakarta, pilihlah sesuai hati nuranimu. Pilihlah calon gubernur
yang mampu memimpin dan menjadikan Jakarta lebih maju. Jangan hiraukan segala
upaya hasut-menghasut atau kampanye hitam apapun, lebih baik cari informasi yang
akurat sebanyak mungkin tentang calon yang akan Anda pilih agar tidak menyesal
nantinya. Buat para penceramah, hati-hati, bisa-bisa barisan tarawih makin
menipis gara-gara aksi yang seperti ini.