Aku bertemu dengannya di suatu pagi di
bulan Juni lima tahun yang lalu. Saat itu aku masih seorang mahasiswa
tingkat akhir di sebuah perguruan tinggi lokal. Ia berjalan sambil
menenteng sebuah map berwarna cokelat. Ia nampak kebingungan,
wajahnya nampak berpeluh namun tak menyurutkan wajahnya untuk selalu
tersenyum. Kala itu ia mendatangiku yang sedang duduk beramai-ramai
dengan teman-teman. Dengan suara parau dan setengah berbisik ia
bertanya padaku,
“Dik, ruang administrasi di sebelah
mana?” tanyanya
“Bapak mau mencari siapa?” tanyaku
“Oh ini, saya mau mengantarkan berkas
registrasi, anak saya sedang sakit, tidak bisa datang”
Aku menunjukkan sebuah bangunan yang
paling besar di kampus kami kemudian asik
kembali melanjutkan cerita
bersama teman-teman dan tak mengindahkan kepergiannya bahkan tak
menawarkan bantuan apa-apa. Sekilas aku memandangi Bapak itu,
punggungnya yang berjalan menjauh sesaat mengingatkanku pada ayah.
Aku teringat akan ayah yang berjuang
membiayai kuliahku. Teringat jasa beliau selama aku berada di
perantauan. Teringat beliau yang dahulu mengantarku dan membereskan
semua berkas-berkas untukku saat masuk di kampus ini. Aku juga
mengingat kelakuan burukku yang merengek minta dibawakan motor yang
aslinya tujuannnya bukan untuk mendukung transportasi kuliah, tapi
untuk jalan-jalan bersama teman. Aku bahkan meminta laptop yang
harganya berjuta-juta hingga minta pindah di kos-kosan yang harganya
jauh di atas harga rata-rata kos mahasiswi pada umumnya.
Lima tahun berselang, aku kini duduk di
balik meja di sebuah ruangan ber-AC. Ini adalah tahun ke- tigaku
berada di kantor ini. Lihat tulisan yang ada di atas mejaku, aku
seorang account officer, menangani segala urusan yang berhubungan
dengan perkreditan. Hari ini ayah berencana datang ke kantor. Ayah
ingin kredit sesuatu? Tidak, tidak, hari ini aku ingin mengantar ayah
check up ke sebuah rumah sakit. Kalau dahulu aku yang diantar ayah ke
bank, kali ini akulah yang dengan sukarela mengantarnya.
Pukul 12 lewat sedikit ayah tiba di
kantorku. Ia melambaikan tangan sambil tersenyum padaku.
“Tunggu sebentar di situ Yah”
ujarku
Aku masih harus membereskan beberapa
arsip, baru aku bisa bebas tugas. Ketika aku akan beranjak dari
tempat dudukku, dari sudut mataku aku memandang sesosok yang
sepertinya cukup familiar. Sosok itu duduk sambil memandangi buku
tabungannya. Tak berapa lama ayahku mendatanginya dan tampak
mengobrol intim dengannya. Aku kemudian melangkahkan kaki mendekat.
Kutepuk perlahan pundak ayahku. Alangkah terkejutnya aku ketika
memandang orang yang belum lama mengobrol dengan ayahku. Wajahnya
masih sama seperti lima tahun yang lalu, hanya kerutan di dahinya
bertambah dan tekstur kulitnya yang tampak menua. Kukembangkan senyum
diwajahku lalu menyapanya
“Bapak, masih ingat saya?” tanyaku
Ia menengadahkan kepalanya, bola
matanya bergerak-gerak ke atas kanan pertanda ia sedang mengingat
sesuatu.
“Siapa ya...?” ia balik bertanya
“Lho, Dinda kenal dengan pak Kusno?”
tanya Ayah padaku
“Dulu, sekitar lima tahun yang lalu
Bapak ini pernah ke kampus saya di Yogya” jelasku
“Be.. benar putri saya memang kuliah
di Yogya. Tapi adek ini, rasa-rasanya saya tidak begitu ingat”
“Waktu itu Bapak akan registrasi anak
Bapak. Kemudian Bapak bertanya pada saya ruang admnistrasi. Seingat
saya Bapak bilang kalau putri Bapak sedang sakit.” aku kembali
menjelaskan lebih detail
“Ah... iya, Bapak yang lupa, maklum
Bapak sudah tua”
“Oh ya, ini ayah saya. Kelihatannya
Bapak sudah kenal dengan ayah saya”
“Ini putrimu yang kamu bicarakan tadi
to Ndro” Pak Kusno berupaya meyakinkan dengan kembali bertanya pada
ayahku
“Iya, ini anak pertamaku. Dinda
namanya. Din, ini Pak Kusno, teman main ayah dulu”
“Anak Bapak yang
kuliah di kampus saya itu sekarang kerja dimana?” tanyaku penasaran
Pak Kusno terdiam
sesaat, pandangannya kembali menuju buku tabungan dan sebuah map di
tangan kirinya.
“Anak
saya itu..tidak selesai kuliahnya (tersenyum getir). Bapak sudah
berjuang membiayai semuanya, memenuhi semua kebutuhannya. Dia malah
main-main. Bapak sebenarnya cuma ingin dia bisa lulus kuliah, jadi
sarjana, gak seperti
Bapaknya ini yang cuma lulusan SD.” keluhnya
“Sabar No..”
ayahku mencoba menenangkan
“Bapak hari ini
kemari apa ingin...”
Aku belum
menyelesaikan kalimatku, namun Pak Kusno langsung menyambar dengan
menjawab
“Ah ini... minggu
depan putri saya menikah. Dan ini (mengangkat map), saya berniat
untuk meminjam uang di bank. ” ujarnya dengan nada sedih
“Itu sudah sampai
nomor antrian saya. Saya ke sana dulu.” sambungnya lagi
“Ya sudah No,
mudah-mudahan diberi kesabaran dan kelancaran. Main ke rumahku.
Terakhir kita ngobrol itu sudah lama sekali waktu anak-anak masih
kecil.”
“Mari pak, saya
antar. Nanti biar teman saya yang bantu” aku menawarkan bantuan
Aku dan ayah
kemudian berpamitan pada pak Kusno. Setelah mendengar kisah pak Kusno
ayah menggenggam tanganku erat. Kedua matanya memandangku lekat-lekat
seakan berkata “Dinda putri ayah”.
Ya, akulah putri
ayah. Aku yang dahulu nakal ini sudah belajar banyak menjadi seorang
putri yang baik dan bisa membalas budi orang tua. Bertemu dengan pak
Kusno menyadarkanku bahwa seorang anak dilahirkan selayaknya menjadi
anugrah bagi kedua orang tuanya. Bayangan pak Kusno lima tahun yang
lalu dan lima belas menit yang lalu terus melekat dalam pikiranku.
Benakku turut bertanya, apakah yang akan terjadi lima tahun dan lima
belas tahun yang akan datang pada pak Kusno? Aku mengeratkan
gamitanku pada ayah, aku ingin beliau menikmati masa senjanya dengan
bahagia, aku sangat ingin ayah merasakan manisnya hasil pengorbanan
yang telah ia lakukan bagi putra-putrinya.
No comments:
Post a Comment